Rumah Tangga Akademik: Rinto dan Putri Buktikan Cinta dan Ilmu Bisa Tumbuh Bersama hingga Sidang S3

Rumah Tangga Akademik: Rinto dan Putri Buktikan Cinta dan Ilmu Bisa Tumbuh Bersama hingga Sidang S3

Belajar bersama, tumbuh bersama: Rinto Harno dan istri membuktikan cinta tak lekang oleh waktu dan revisi disertasi.

Cinta tak hanya bisa dibangun di meja makan, tetapi juga di meja belajar. Itulah yang dibuktikan oleh Rinto Harno dan Putri Septi Naulina Hasibuan, pasangan suami istri asal Kediri yang sukses melangkah ke sidang tertutup program doktoral bersama, di usia yang tidak lagi muda. Keduanya sama-sama menempuh studi di Program Doktor Manajemen Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya, dan kini bersiap menuju sidang terbuka.

Rinto Harno, pria kelahiran Kediri, 17 Agustus 1950, adalah Direktur Utama PT Bintang Kadiri sejak 2010, setelah sebelumnya menjabat Direktur PT Gudang Garam selama hampir dua dekade. Tak hanya itu, ia juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Bina Cendekia Muslim Pancasila (YBCMP), yayasan yang menaungi Universitas Islam Kadiri (UNISKA) Kediri.

Sementara sang istri, Putri Septi Naulina Hasibuan, lahir di Tanjung Karang, 18 September 1975, adalah Kepala Bagian Keuangan di PT Bintang Kadiri dan sekaligus Bendahara Umum YBCMP, dengan latar belakang profesional di dunia perbankan.

Mereka menikah pada 6 April 2005 dan telah menjalani 20 tahun kehidupan rumah tangga yang penuh dinamika. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai satu orang anak yang kini sedang melanjutkan studi di Green River College, Amerika Serikat.

Awal Mula: Komitmen yang Tumbuh Bersama

Motivasi pasangan ini untuk menempuh pendidikan S3 bukan sekadar mengejar gelar atau pengakuan akademik. Bagi Rinto, semangat belajar datang dari inspirasi yang sering ia dengar dalam berbagai ceramah bahwa mencari ilmu tak mengenal usia.

“Dengan kuliah, hidup jadi lebih segar, tidak monoton. Bisa bertemu banyak orang baru, berdiskusi, dan justru jadi semacam penyegar kehidupan,” ujar Rinto.

Ketika ditanya siapa yang lebih dulu memiliki keinginan melanjutkan studi S3, Rinto menjawab tegas, “Saya, sejak jauh hari, punya rencana akan ambil S3. Istri saya ajak, dan setuju. Ya, terus komitmen menjalani suka dukanya.”

Putri menambahkan bahwa keputusan itu muncul seiring waktu, bukan dari rencana awal. “Dulu tidak pernah direncanakan,” akunya. Namun seiring berjalannya waktu dan melihat anak mereka bersekolah di luar negeri, Putri merasa ini saat yang tepat untuk mengisi waktu dengan kegiatan produktif. “Untuk pengembangan diri, sekalian mengisi waktu luang”, ujarnya sambil tertawa ringan.

Menjalani studi bersama tentu membawa tantangan, tetapi keduanya justru merasa saling menguatkan. “Tidak ada masalah, kesulitan dihadapi bersama,” kata Rinto singkat tapi penuh makna. Sementara Putri menyebut bahwa kuliah bersama justru banyak keuntungan dan merasa bahwa sang suami adalah “teman diskusi terbaik”-nya.

Kompak di Sidang Tertutup

Tanggal 18 Juni 2025 menjadi tonggak penting dalam perjalanan akademik mereka. Keduanya menjalani sidang tertutup di hari yang sama, dengan jadwal berbeda. “Saya pukul 12.30, Ibu pukul 14.30,” ujar Rinto.

Momen ini diakui sangat menegangkan, terutama dalam masa-masa persiapan. “Berbulan-bulan cari literatur, ketemu pembimbing, serius di depan laptop hampir lima semester lebih empat bulan,” kenang Rinto. Bahkan, ia mengaku sempat mengalami penurunan penglihatan karena intensitas kerja yang tinggi.

Putri pun menyampaikan bahwa tantangan mental menjadi hal utama yang harus ia hadapi. “Membayangkan akan diuji oleh enam penguji dan harus bisa mempertanggungjawabkan penelitian saya,” ujarnya.

Namun, di balik semua itu, mereka tetap saling menyemangati. Bahkan dalam suasana santai, mereka kerap bercanda dengan istilah-istilah akademik. “Fenomena yang terjadi, bukti empiris,” ucap Putri sambil tertawa.

Momen yang Tak Terlupakan

Di balik ketegangan itu, terselip momen penuh haru. Rinto mengenang masa kecilnya saat menjalani sidang. “Berdoa, teringat ibu dan ayah dari keluarga miskin. Karena kemauan keras untuk sekolah, dan Alhamdulillah bisa tercapai.”

Sementara Putri mengalami momen yang lebih ringan dengan sedikit canda. “Jadwal Bapak diuji lebih dulu dan cukup lama, sehingga saat giliran saya, para penguji tampak sudah kelelahan. Jadi, pertanyaannya tidak sebanyak Bapak. Rejeki anak sholehah,” ujarnya sambil tersenyum lebar. Secara pribadi, Ia merasa dapat menjawab pertanyaan penguji dengan lancar.

Setelah sidang, komentar penguji pun positif dan keduanya diminta segera mengajukan ujian terbuka. Target pun langsung dipasang. “Otomatis targetnya segera sidang terbuka,” ujar Putri. “Ini sedang mempersiapkan revisi-revisi karena S3 memang never ending revising.”

Rinto bahkan sudah punya tanggal sidang terbuka yaitu pada 9 Juli 2025. “Ada waktu 19 hari persiapan. Jangan sampai memalukan diri sendiri maupun institusi tempat saya mengabdi,” katanya tegas.

Rahasia Tetap Harmonis di Tengah Stres Akademik

Menjalani studi doktoral sebagai pasangan tentu bukan tanpa tantangan, tetapi bagi Rinto dan Putri, pengalaman ini justru mempererat hubungan mereka. Meski di tengah jalan kerap muncul perbedaan pendapat, keduanya punya cara masing-masing untuk menjaga keharmonisan, baik secara akademik maupun personal.

“Perbedaan pendapat tentu sering,” ujar Putri lugas. “Tapi karena tema disertasi kami berbeda, ya kembali ke disertasi masing-masing dan kembali ke promotor saja,” tambahnya dengan tawa kecil.

Rinto punya pandangan serupa. Baginya, justru karena berada dalam satu program studi yang sama, ada banyak hal yang bisa disinergikan. “Kami ambil prodi yang sama, jadi cukup beli satu buku saja untuk berdua, bergantian baca. Kami juga saling mengingatkan kalau belum belajar. Bahkan di mana pun kami berada—di mobil, kantor, warung, sampai tempat tidur—sering diskusi materi kuliah,” ceritanya.

“Perbedaan pendapat? Banyak. Tapi kuncinya saling mengalah, toh judul kami berbeda,” lanjutnya.

Soal tekanan dan stres selama menempuh S3, Putri tak menampik bahwa itu nyata. Namun baginya, peran sang suami sangat besar dalam menjaga semangatnya tetap menyala.

“Iya betul, berat dan stres,” ungkapnya. “Tapi Bapak itu luar biasa,” lanjutnya sambil tertawa lepas. “Mungkin karena terbiasa dengan atmosfer pengusaha yang kompetitif sejak muda, jadi semangatnya selalu sat set wat wet, pantang menyerah. Beliau nggak pernah menunggu lama untuk revisi, selalu ‘nguber’ promotor. Saya kadang berpikir, kalau kuliah saya nggak bareng Bapak, bisa jadi saya yang molor”, ungkapnya sambal tertawa.

Rinto sendiri punya resep unik menjaga keharmonisan yaitu olahraga dan kebersamaan dalam rutinitas.

“Kami kuliah di Surabaya, dan kebetulan sama-sama hobi main golf. Jadi tiap Rabu dan Minggu berangkat dari Kediri jam 03.00 pagi, main di Ciputra sampai jam 09.00, lalu ke kampus. Kalau hari Minggu, kami manfaatkan untuk diskusi dengan teman seangkatan,” kisahnya.

“Satu hal yang saya syukuri, tiap ke Surabaya saya yang nyetir, dan Ibu jadi co-pilot yang aktif kasih info jalan. Itu bagian dari merawat keharmonisan, supaya tidak stres. Olahraga dan komunikasi, itu kuncinya.”

Ilmu sebagai Teladan dan Jalan Pengabdian

Bagi pasangan Rinto dan Putri, keberhasilan menapaki tahap akhir studi doktoral bukan semata soal gelar atau prestise akademik, melainkan cerminan dari nilai-nilai hidup yang mereka pegang teguh dalam rumah tangga.

“Kami ingin menjadi suri tauladan buat anak-anak kami, bahwa ilmu itu menjadi pondasi penting dalam kehidupan. Dan bila kita selalu terlibat dengan dunia akademis, InsyaAllah kehidupan akan adem ayem lancar jaya,” ujar Putri penuh harap. Baginya, pendidikan bukan hanya untuk kemajuan pribadi, tapi juga untuk keteladanan dalam keluarga.

Sementara itu, Rinto melihat pencapaian ini sebagai bagian kecil dari tanggung jawab yang lebih besar. “Biasa saja, karena S3 ini bagian kecil dari kehidupan yang lebih luas, terutama dalam pengabdian ke masyarakat melalui kemampuan yang dipunyai,” tuturnya tenang namun sarat makna.

Tak hanya itu, keduanya pun membagikan pesan penuh semangat untuk siapa saja yang ingin terus belajar meskipun usia tak lagi muda. “Belajar itu tidak mengenal usia. Yakinlah, hal-hal baik dalam kehidupan akan menyertai bila kita terus belajar,” kata Putri.

Rinto menambahkan, “InsyaAllah bisa menjadi contoh bagi yang muda, khususnya anak-anak kami, untuk tidak menyerah oleh keadaan.”

Dengan semangat itu, pasangan ini menutup perjalanan studinya dengan penuh harapan: agar ilmu tidak hanya berhenti di lembar disertasi, tapi terus mengalir dalam kehidupan, memberi manfaat bagi keluarga, masyarakat, dan masa depan.

Kisah mereka membuktikan satu hal bahwa rumah tangga dan dunia akademik bukanlah dua jalan yang harus dipisahkan. Keduanya bisa tumbuh berdampingan—dengan cinta, semangat, dan visi yang satu: terus belajar, sampai akhir.

Bagikan dengan :