Tren #KaburAjaDulu yang sempat menghebohkan media sosial Indonesia mencerminkan fenomena di mana sejumlah warga negara Indonesia—khususnya generasi muda—terdorong untuk pergi ke luar negeri dengan tujuan mencari peluang kerja yang lebih baik. Narasi yang beredar sering kali menggambarkan migrasi sebagai solusi instan atas kesulitan ekonomi di dalam negeri, dengan ajakan untuk “kabur dulu” dan mengatasi masalah secara bertahap. Namun, di balik antusiasme tersebut, tersimpan risiko serius yang sering kali terlupakan, yaitu potensi terjebak dalam praktik perdagangan manusia (human trafficking).
Perdagangan manusia merupakan kejahatan transnasional yang kompleks dan mengancam hak asasi manusia. Human trafficking didefinisikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, atau bentuk tipu daya lainnya, dengan tujuan eksploitasi. Eksploitasi ini meliputi eksploitasi seksual, kerja paksa atau perbudakan modern, serta pengambilan organ tubuh secara ilegal. Definisi ini menegaskan bahwa perdagangan manusia melibatkan unsur pemaksaan dan penipuan demi tujuan memperbudak atau mengeksploitasi korban secara tidak manusiawi.
Sebagai negara dengan jumlah pekerja migran yang cukup besar di wilayah Asia Tenggara, Indonesia sangat rentan terhadap kasus perdagangan manusia. Para pelaku sering kali memanfaatkan kondisi sosial ekonomi dan minimnya pengetahuan calon pekerja tentang mekanisme migrasi yang aman dan legal.
Dalam konteks hukum internasional, perdagangan manusia termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara yang diatur oleh instrumen utama, yaitu United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (dikenal sebagai Protokol Palermo) yang disahkan pada tahun 2000. Protokol ini mengatur pentingnya kerja sama antarnegara dalam pencegahan, penanggulangan, serta perlindungan korban. Indonesia sendiri telah meratifikasi baik UNTOC maupun Protokol Palermo dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang menegaskan komitmen hukum nasional dalam menindak kejahatan tersebut. Meskipun demikian, penegakan hukum secara internasional maupun nasional tidak akan efektif tanpa adanya peningkatan kesadaran dan kewaspadaan dari individu—terutama calon pekerja migran—yang hendak merantau ke luar negeri.
Risiko perdagangan manusia semakin nyata ketika WNI menerima tawaran pekerjaan di luar negeri tanpa melakukan verifikasi yang memadai. Janji-janji gaji tinggi dan kemudahan proses menjadi daya tarik utama yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk merekrut korban. Namun, kenyataannya sering kali berbeda, di mana para korban justru menghadapi kondisi kerja keras dengan jam kerja berlebihan, perlakuan kasar, kekerasan, bahkan penahanan dokumen dan pembatasan kebebasan. Faktor lemahnya informasi mengenai prosedur kerja legal, minimnya pemahaman akan hukum dan perlindungan tenaga kerja di negara tujuan, serta penggunaan agen tenaga kerja ilegal atau calo yang tidak bertanggung jawab menjadi pintu masuk perdagangan manusia.
Fenomena #KaburAjaDulu yang berkembang di media sosial berisiko mendorong WNI untuk mengambil keputusan impulsif tanpa persiapan matang dan pemahaman menyeluruh tentang regulasi serta risiko hukum keimigrasian yang berlaku di negara tujuan. Hal ini semakin diperparah dengan berkembangnya modus operandi pelaku perdagangan manusia yang memanfaatkan teknologi digital, termasuk penawaran lowongan melalui media sosial dengan konten yang menarik namun menyesatkan.
Menghindari jebakan perdagangan manusia memerlukan sikap waspada dan pengetahuan yang memadai. Calon pekerja migran harus memastikan bahwa proses penempatan dilakukan melalui jalur resmi, seperti Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), serta memeriksa legalitas agen atau perusahaan penyalur tenaga kerja. Tawaran kerja yang masuk akal, dilengkapi kontrak kerja tertulis yang jelas, dan pemahaman terhadap hukum negara tujuan menjadi aspek penting yang tidak boleh diabaikan. Selain itu, melindungi data pribadi dan dokumen resmi, serta menghindari penyerahan paspor kepada pihak yang tidak berwenang, adalah langkah penting untuk menjaga hak dan keselamatan.
Media sosial harus digunakan secara bijak sebagai sumber informasi, bukan sebagai sarana pengambilan keputusan yang gegabah. Mengkritisi tawaran pekerjaan dan melakukan verifikasi terhadap informasi merupakan bentuk perlindungan diri yang efektif. Jika menemukan indikasi perdagangan manusia atau eksploitasi, melaporkannya ke pihak berwenang atau lembaga perlindungan tenaga kerja migran di negara asal maupun tujuan menjadi kewajiban untuk menghentikan rantai kejahatan.
Sebagai kesimpulan, migrasi yang disertai harapan untuk perbaikan hidup memang merupakan keinginan yang sah bagi setiap individu. Namun, tren instan seperti #KaburAjaDulu mengandung risiko tinggi terhadap tindak kejahatan perdagangan manusia yang merugikan hak asasi pekerja migran. Penguatan hukum internasional dan nasional yang sudah ada harus didukung oleh kesadaran dan kehati-hatian setiap warga negara. Persiapan matang, pemahaman hukum, serta kewaspadaan menjadi kunci utama agar niat mencari kehidupan yang lebih baik tidak berujung pada eksploitasi dan penderitaan.
Siciliya Mardian Yoel, S.H., M.H.
Dosen Hukum Internasional, Prodi Ilmu Hukum, Uniska Kediri