Artificial Intelligence (AI) kini menjadi bagian dari realitas dunia kerja, bukan sekadar topik diskusi akademik. Iska Yanuartanti, S.T., M.T., dosen pengampu mata kuliah Machine Learning di Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Uniska Kediri, menyampaikan bahwa mahasiswa perlu membekali diri dengan keterampilan baru agar tetap relevan di tengah transformasi digital yang berlangsung cepat.
“AI bukan hanya urusan mahasiswa teknik atau IT. Hampir semua sektor, dari bisnis, kesehatan, pendidikan hingga industri kreatif, sudah mulai menggunakan AI untuk efisiensi dan inovasi. Kalau mahasiswa tidak mulai belajar dari sekarang, mereka akan tertinggal,” tegas Iska saat ditemui di kampus Uniska Kediri.
Menurutnya, salah satu keterampilan penting yang harus dimiliki adalah literasi AI. Ia menjelaskan bahwa mahasiswa tidak harus menjadi pakar AI, tetapi penting bagi mereka untuk memahami prinsip dasar bagaimana teknologi ini bekerja. “Dengan literasi AI yang cukup, mahasiswa bisa memanfaatkannya untuk tugas kuliah, penelitian, maupun pengembangan proyek. Mereka juga akan lebih siap menghadapi dunia kerja yang sangat kompetitif,” ujarnya.
Iska mencontohkan penggunaan AI generatif seperti ChatGPT yang bisa membantu brainstorming ide, menyusun kerangka laporan, hingga menghasilkan konten visual. Namun, semua itu tetap membutuhkan pemahaman dan keahlian teknis, termasuk keterampilan analisis data. “AI itu hidup dari data. Kalau mahasiswa tidak bisa membaca, memahami, dan mengolah data, ya mereka akan kesulitan. Mulailah dari tools sederhana seperti Excel, lalu belajar Python, statistik dasar, dan cara berpikir berbasis data,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya prompt engineering, kemampuan menyusun instruksi yang tepat untuk AI. “Prompt itu seperti ‘bahasa komunikasi’ antara manusia dan mesin. Mahasiswa yang tahu cara membuat prompt yang jelas dan strategis akan bisa menyelesaikan tugas dengan lebih cepat dan kreatif,” tambahnya.
Namun, di tengah kemajuan teknologi, Iska mengingatkan agar mahasiswa tidak melupakan aspek humanis. “AI tidak bisa menggantikan empati, intuisi, dan nilai-nilai etika manusia. Keterampilan komunikasi, berpikir kritis, dan integritas tetap menjadi pembeda utama dalam dunia kerja,” ujarnya.
Sebagai pendidik di Uniska Kediri, Iska melihat pentingnya peran kampus dalam menyiapkan mahasiswa untuk menghadapi tantangan ini. Ia mendorong adanya kurikulum adaptif, pelatihan keterampilan digital, dan budaya belajar sepanjang hayat. “Mahasiswa tidak bisa hanya belajar di ruang kelas. Mereka harus aktif mengeksplorasi, mencoba teknologi baru, mengikuti kursus daring, dan terus upgrade kemampuan,” ujarnya.
Ia menutup dengan keyakinan bahwa mahasiswa Uniska Kediri memiliki potensi besar. “AI bukan ancaman bagi karier, tapi alat untuk melesat lebih jauh. Mahasiswa Uniska Kediri harus jadi penggerak perubahan, bukan sekadar pengikut. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita siap memanfaatkannya?” pungkasnya.