Ketenangan dalam mengarungi kehidupan ini merupakan impian kita dan juga impian setiap orang . Namun, sering kali kita didatangi bahkan dihantui kegelisahan dan kekacauan batin. Hal ini tidak hanya menghantui mereka yang memiliki taraf ekonomi lemah. Mereka yang memiliki harta berlimpah atau kedudukan tinggi pun pasti pernah dihadapkan pada kondisi tidak tenang.
Hal ini menunjukkan bahwa ketenangan bukanlah hasil dari banyaknya harta, tetapi berasal dari hati yang damai dan jiwa yang tenteram. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 28:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُۗ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.”
Ayat ini menegaskan bahwa dzikrullah (mengingat Allah) mampu menjadi kunci ketenangan hati. Ketika seseorang selalu mengingat Allah dalam setiap langkah kehidupannya, ia akan merasa aman dan damai karena yakin bahwa segala sesuatu terjadi dengan izin dan ketentuan-Nya.
Dalam Tafsir Al-Munir diterangkan, ayat ini menggambarkan bahwa hati yang senantiasa dihiasi dengan dzikir dan mengingat Allah, maka akan memancar cahaya ketenangan. Hati yang selalu ingat kepada Allah laksana pelita yang akan menuntun manusia melewati kegelapan yang dihadapi dalam kehidupan dan menghadirkan ketenangan.
Syekh Ibnu Athaillah menyebutkan bahwa dzikir (mengingat Allah) adalah pilar utama dari jalan yang ditempuh para sufi dan bukan hanya rutinitas ritual yang terucap di mulut saja. Dzikir merupakan inti dari kehidupan spiritual sekaligus nafas kehidupan dan ketenangan. Dzikir ibarat air dan nutrisi yang akan menjadikan tanaman tumbuh subur dan tidak layu.
Terkait dengan dzikir yang mampu menumbuhkan ketenangan ini, Rasulullah saw bersabda:
مَثَلُ الّذِيْ يَذكُرُ رَبَّهُ وَالّذِيْ لَا يَذكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
Artinya: “Perumpamaan antara orang yang dzikir pada Tuhannya dan yang tidak, seperti antara orang yang hidup dan yang mati.” (HR Bukhari)
Syekh Ibnu ‘Athaillah, sebagaimana dikatakan Syekh Ibnu ‘Ajibah dalam (syarah al-Hikam), menyebutkan bahwa di antara tanda matinya hati adalah hilangnya rasa sedih dan penyesalan ketika berbuat yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Ibnu ‘Ajibah sendiri mengatakan, matinya hati dilatari oleh tiga faktor, yakni cinta dunia, lalai dari dzikir kepada Allah, membiarkan anggota badan jatuh dalam perbuatan maksiat.
Selain berdzikir, ketenangan hidup juga bisa kita dapatkan dari sikap bersabar dalam menghadapi cobaan dan bersyukur atas segala nikmat yang kita terima . Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Artinya: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 5-6).
Menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan senantiasa memohon ampun pada Allah juga mampu mendatangkan ketenangan dalam hidup. Perlu kita sadari dan pasti kita sudah merasakan sendiri bahwa dosa dan maksiat dapat membuat hati gelisah dan hidup tidak tenteram. Oleh karena itu, kita harus senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Allah. Allah berfirman dalam surat Hud Ayat 47:
قَالَ رَبِّ اِنِّيْٓ اَعُوْذُ بِكَ اَنْ اَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِيْ بِهٖ عِلْمٌۗ وَاِلَّا تَغْفِرْ لِيْ وَتَرْحَمْنِيْٓ اَكُنْ مِّنَ الخاسرين
Artinya: “Nabi Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang merugi.”
Selain itu , bersikap qana’ah atau merasa cukup juga bisa mendatangkan ketenangan dalam hidup. Orang yang merasa cukup dengan apa yang dimiliki akan lebih mudah merasakan ketenangan dalam hidup dibanding orang yang tidak pernah memiliki rasa puas dan selalu merasa kurang. Dari Abu Hurairah Rasululah SAW bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Artinya : “Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah swt senantiasa memberikan kita ketenangan hati, keberkahan dalam hidup, dan keselamatan di dunia maupun akhirat. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Khodbah Jum’at : Agus M. Syakir, S.Pd